Seperti kita ketahui bahwa Masyarakat Ekonomi ASEAN akan diberlakukan pada tahun 2015. Badan POM sedang dan telah mengeluarkan beberapa peraturan didalam Suplemen Kesehatan.
Definisi Suplemen Kesehatan yang digunakan oleh Badan POM, sedikit berbeda dengan Definisi “Health Supplement” yang telah disepakati di ASEAN. Dibawah ini adalah perbandingan kedua definisi Suplemen Kesehatan tersebut :
Definisi yang ditetapkan Badan POM | Definisi yang disepakati di ASEAN |
---|---|
Suplemen Kesehatan adalah produk yang dimaksudkan untuk melengkapi kebutuhan zat gizi, memelihara, meningkatkan dan/atau memperbaiki fungsi kesehatan, mengandung satu atau lebih bahan berupa vitamin, mineral, asam amino atau bahan lain (berasal dari tumbuhan atau bukan tumbuhan) yang mempunyai nilai gizi dan/atau efek fisiologis, yang tidak dimaksudkan sebagai Pangan. |
Suplemen Kesehatan adalah Setiap produk yang digunakan untuk melengkapi diet dan untuk menjaga, meningkatkan dan memperbaiki fungsi kesehatan tubuh manusia dan mengandung satu atau lebih, atau kombinasi dari berikut ini:
|
Didalam definisi Badan POM, ada penekanan bahwa “yang tidak dimaksudkan sebagai Pangan” pada akhir definisi, sedangkan hal ini tidak dijunmpai dalam definisi ASEAN, bahkan secara implisit hal ini dimungkinkan. Seperti kita ketahui, banyak bahan yang berasal dari tumbuhan yang semula dikonsumsi sebagai Pangan, kemudian dikembangkan lebih lanjut sebagai Suplemen Kesehatan dikarenakan efek fisiologisnya. Umumnya Suplemen kesehatan ditemukan dalam bentuk kapsul/tablet/bubuk/cairan maka bahan pangan yang berasal dari tumbuhan tersebut digunakan sebagai ekstrak kosentrat.
Didalam draft PerKa BPOM tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Suplemen Kesehatan, pada Bagian Kedua mengenai Kriteria, pasal 4 menyebutkan bahwa :
Selain harus memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Suplemen Kesehatan juga harus memenuhi ketentuan:
a. tidak ditujukan untuk pencegahan dan pengobatan suatu penyakit; dan/atau
b. komponen utama yang dikandung bukan merupakan bahan dasar pangan.
APSKI telah menyampaikan masukan secara tertulis kepada Deputi II – Badan POM mengenai Draft PerKa BPOM tentang Kriteria Tata Laksana Registrasi Suplemen Kesehatan, pada tanggal 22 Agustus 2014. Disamping memberikan masukan atas pasal 1(1) serta pasal 4(b), APSKI juga menyampaikan beberapa masukan prinsip, diantaranya :
a. Pada pasal yang mengatur tentang Pendaftaran, diantaranya pasal 1 ayat (14) , ayat (17), pasal 16(1), pasal 16(2) a, pasal 17 (1), (2), pasal 18(1), (2), (3), pasal 23(1) agar Badan Usaha di Bidang Pemasaran Suplemen Kesehatan diperkenankan untuk melakukan pendaftaran serta sebagai pemberi kontrak seperti diatur dalam BAB ll pasal 2(4). Hal ini sesuai dengan PerKa BPOM No. HK.00.05.41.1381 tahun 2005 tentang Tata Laksana Pendaftaran Suplemen, dimana pasal 2(5) lndustri farmasi atau industri dibidang obat traditional atau industri pangan atau badan usaha dibidang pemasaran suplemen makanan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus memiliki sekurang-kurangnya laboratorium penguiian mutu dengan penanggung jawab seorang apoteker
b. Pasal 8 dan pasal 9 yang mengatur tentang Nama produk Suplemen Kesehatan, APSKI mengusulkan untuk :
• menghilangkan pasal 8(2) yang mengatur penggunaan Nama yang sama untuk produk dengan perubahan komposisi, serta menghilangkan pasal 8(4) yang melarang penggunaan Nama yang sama bagi produk yang dibatalkan dengan alasan keamanan.
• Memperbolehkan penggunaan nama payung (umbrella name) sebagai nama induk sepanjang tidak menyesatkan dan tidak boleh menggunakan nama penyakit, oleh karena Suplemen Kesehatan berbeda dengan Obat, dan menggunakan campuran bahan yang mempunyai kelas terapi yang berbeda
Adapun peraturan Badan POM terkait Suplemen Kesehatan, yang telah dikeluarkan hingga bulan Agustus 2014 adalah sebagai berikut :
1. PerKa BPOM No. 10/2014 yang melarang memproduksi dan mengedarkan obat tradisional dan suplemen kesehatan yang mengandung tumbuhan Coptis sp, Berberis sp, Mahonia sp, Chelidonium majus, Phellodendron sp, Arcangelica flava, Tinosporae Radix, dan Cataranthus roseus. Badan POM akan membatalkan persetujuan yang telah diberikan sebelumnya dan pasal 3 mengatakan Menarik dari peredaran semua obat tradisional dan suplemen kesehatan dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak diundangkannya Peraturan ini. Peraturan diundangkan pada 5 Agustus 2014
2. PerKa BPOM No. 7/2014 tentang Pedoman Uji Toksisitas Non-Klinik secara in vivo
Pedoman ini disusun dengan tujuan agar dapat digunakan sebagai pedoman uji toksisitas non-klinis dalam pengembangan obat, obat tradisional, kosmetik, dan produk komplemen serta pangan dan bahan berbahaya, oleh institusi pendidikan dan penelitian, Industri yang terkait dengan pengembangan produk, serta pihak-pihak lain yang terkait.
Uji toksisitas adalah suatu uji untuk mendeteksi efek toksik suatu zat pada sistem biologi dan untuk memperoleh data dosis-respon yang khas dari sediaan uji. Data yang diperoleh dapat digunakan untuk memberi informasi mengenai derajat bahaya sediaan uji tersebut bila terjadi pemaparan pada manusia, sehingga dapat ditentukan dosis penggunaannya demi keamanan manusia
Pedoman ini meliputi uji toksisitas akut oral, toksisitas sub- kronis oral, toksisitas kronis oral, teratogenisitas, sensitisasi kulit, iritasi mata, iritasi akut dermal, iritasi mukosa vagina, toksisitas akut dermal dan toksisitas subkronis dermal.
3. Perka Badan POM No. 9 Tahun 2014 tentang Tata Laksana Persetujuan Klinik
Dalam rangka melindungi masyarakat dari penggunaan obat, obat herbal, suplemen kesehatan, pangan, dan kosmetika, serta apabila dalam kondisi tertentu diperlukan pembuktian kebenaran aspek keamanan dan khasiat/manfaat produk secara ilmiah melalui uji klinik.
Uji Klinik adalah kegiatan penelitian dengan mengikutserta- kan subjek manusia disertai adanya intervensi Produk Uji, untuk menemukan atau memastikan efek klinik, farmakologik dan/atau farmakodinamik lainnya, dan/atau mengidentifikasi setiap reaksi yang tidak diinginkan, dan/atau mempelajari absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi dengan tujuan untuk memastikan keamanan dan/atau efektifitas produk yang diteliti
Seperti diatur dalam pasal 5 (1) bahwa Uji Klinik harus mendapatkan persetujuan Kepala Badan sebelum pelaksanaan Uji Klinik. Dan dalam pasal 6 (1) dikatakan bahwa pelaksanaan Uji Klinik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, sebelumnya harus mendapat persetujuan Komisi Etik. Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan, yaitu 22 Juli 2014.
Shelly Taurhesia,PHD. - Ketua Bidang Teknis