NEWS UPDATE

BERITA TERBARU

Perkembangan Regulasi Halal di Indonesia: Dari UU 33 Tahun 2014 hingga PP 42 Tahun 2024


Pendahuluan

Industri suplemen kesehatan di Indonesia terus berkembang pesat, seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan dan gaya hidup sehat. Salah satu aspek krusial dalam industri ini adalah sertifikasi halal, yang tidak hanya menjadi tuntutan pasar tetapi juga kewajiban regulasi. Dengan diterapkannya regulasi terbaru mengenai jaminan produk halal dan pengawasan suplemen kesehatan, para pelaku usaha harus memahami dan menyesuaikan diri agar tetap kompetitif dan mematuhi aturan yang berlaku.

Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia memiliki tanggung jawab besar dalam memastikan jaminan kehalalan produk yang beredar di masyarakat. Untuk itu, pemerintah terus memperkuat regulasi terkait jaminan produk halal (JPH) agar dapat memberikan perlindungan bagi konsumen serta menciptakan kepastian hukum bagi pelaku usaha, termasuk dalam industri suplemen kesehatan.

Sejak diterbitkannya Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, regulasi terkait halal terus berkembang hingga diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 42 Tahun 2024. Perkembangan ini tidak hanya mempengaruhi industri makanan dan minuman, tetapi juga sektor farmasi, obat tradisional, dan suplemen kesehatan.

Perjalanan Regulasi Halal di Indonesia

1. UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal

UU ini menjadi dasar hukum utama dalam jaminan halal produk yang beredar di Indonesia. Beberapa poin penting dalam regulasi ini adalah:

  • Kewajiban sertifikasi halal bagi semua produk yang beredar di Indonesia, termasuk makanan, minuman, kosmetik, farmasi, dan suplemen kesehatan.
  • Pendirian Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas regulasi dan implementasi sertifikasi halal.
  • Sertifikasi halal dilakukan oleh Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang bekerja sama dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk mengeluarkan fatwa halal.
  • Masa transisi hingga 5 tahun sejak UU ini berlaku, memberikan waktu bagi pelaku usaha untuk menyesuaikan diri.

2. PP No. 31 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal

Peraturan ini menjadi pedoman teknis bagi implementasi UU 33/2014 dengan beberapa poin utama:

  • Tahapan sertifikasi halal bagi produk makanan, minuman, kosmetik, obat-obatan, dan suplemen kesehatan.
  • Pengakuan sertifikasi halal dari luar negeri, memudahkan pelaku usaha dalam distribusi dan ekspor produk halal.
  • Sanksi bagi pelaku usaha yang tidak mematuhi sertifikasi halal, mulai dari teguran administratif hingga denda dan pencabutan izin edar.

3. PP No. 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal

Regulasi ini memperjelas lebih lanjut proses sertifikasi halal dengan beberapa ketentuan tambahan:

  • Batas waktu sertifikasi halal untuk obat tradisional dan suplemen kesehatan ditetapkan hingga 17 Oktober 2026.
  • Penerapan label halal wajib pada kemasan produk yang telah tersertifikasi.
  • Ketentuan terkait Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), termasuk pembentukan lebih banyak LPH untuk mempercepat proses sertifikasi.

4. PP No. 42 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP No. 39 Tahun 2021

Regulasi terbaru ini membawa perubahan signifikan dalam sistem jaminan produk halal, termasuk bagi industri suplemen kesehatan. Beberapa poin penting dalam PP ini adalah:

  • Penyederhanaan proses sertifikasi halal, terutama bagi usaha mikro dan kecil melalui mekanisme self-declare bagi produk dengan risiko rendah.
  • Percepatan layanan sertifikasi halal melalui integrasi digital, memungkinkan pengajuan dan pemantauan sertifikasi halal secara online.
  • Peningkatan peran LPH dan BPJPH dalam mempercepat pemeriksaan dan sertifikasi produk.
  • Sanksi administratif yang lebih tegas bagi pelaku usaha yang tidak memenuhi kewajiban halal setelah batas waktu yang ditentukan.

Dampak Regulasi Halal bagi Industri Suplemen Kesehatan

Bagi industri suplemen kesehatan, perkembangan regulasi halal ini memiliki beberapa dampak yang perlu diperhatikan:

  • Kewajiban pemenuhan sertifikasi halal sebelum tenggat waktu 2026, menuntut perusahaan untuk segera memastikan bahan baku dan proses produksi memenuhi standar halal.
  • Kesulitan dalam mendapatkan bahan baku halal, terutama untuk produk dengan komponen enzim, gelatin, atau ekstrak hewani.
  • Kenaikan biaya produksi akibat keharusan mengganti bahan non-halal dengan alternatif halal serta biaya sertifikasi yang harus ditanggung.
  • Peluang pasar yang lebih luas, baik di dalam negeri maupun ekspor, karena produk halal memiliki nilai jual lebih tinggi dan diminati konsumen Muslim global.

Kesimpulan

Perkembangan regulasi halal di Indonesia menunjukkan komitmen pemerintah dalam menjamin kehalalan produk yang dikonsumsi masyarakat. Bagi pelaku industri suplemen kesehatan, memahami dan mematuhi regulasi ini sangat penting agar tetap comply dengan aturan yang ada, tetapi akan lebih kompetitif dan dipercaya konsumen.

Sebagai asosiasi yang menaungi para pelaku usaha di industri suplemen kesehatan, Asosiasi Pengusaha Suplemen Kesehatan Indonesia (APSKI) berperan dalam:

  • Membantu menginformasikan/sosialisasi kepada anggota tentang regulasi terbaru
  • Menjalin komunikasi dengan pemerintah dan BPJPH untuk memastikan regulasi yang diterapkan mendukung pertumbuhan industri. 

 

Ikuti terus informasi terbaru seputar regulasi dan industri suplemen kesehatan hanya di website APSKI.

Disusun oleh :

apt. Dra. Ayu Puspitalena RTR, MP

Ketua BidangTeknis

Development of Halal Regulations in Indonesia: From Law No. 33 of 2014 to Government Regulation No. 42 of 2024


Introduction

The health supplement industry in Indonesia continues to grow rapidly, in line with increasing public awareness of the importance of health and a healthy lifestyle. One crucial aspect in this industry is halal certification, which not only becomes a market demand but also a regulatory obligation. With the implementation of the latest regulations on halal product assurance and health supplement supervision, business actors must understand and adapt in order to remain competitive and comply{rm}with applicable rules.

Indonesia, as the country with the largest Muslim population in the world, has a great responsibility to ensure the halal assurance of products circulating in society. Therefore, the government continues to strengthen regulations related to halal product assurance (JPH) in order to provide protection for consumers and create legal certainty for business actors, including in the health supplement industry.


Since the issuance of Law No. 33 of 2014 concerning Halal Product Assurance, regulations related to halal have continued to develop up to the issuance of Government Regulation (PP) No. 42 of 2024. This development not only affects the food and beverage industry, but also the pharmaceutical, traditional medicine, and health supplement sectors.

Journey of Halal Regulations in Indonesia

1. Law No. 33 of 2014 concerning Halal Product Assurance

This law becomes the main legal basis for halal assurance of products circulating in Indonesia. Several key points in this regulation are:

  • Mandatory halal certification for all products circulating in Indonesia, including food, beverages, cosmetics, pharmaceuticals, and health supplements.
  • Establishment of the Halal Product Assurance Organizing Agency (BPJPH) as the institution responsible for regulation and implementation of halal certification.
  • Halal certification is carried out by Halal Inspection Bodies (LPH) in collaboration with the Indonesian Ulema Council (MUI) to issue halal fatwas.
  • A transition period of up to 5 years since this law takes effect, providing time for business actors to adjust.

2. Government Regulation No. 31 of 2019 concerning the Implementation of Halal Product Assurance

This regulation becomes the technical guideline for the implementation of Law 33/2014 with several main points:

  • Stages of halal certification for food, beverages, cosmetics, medicines, and health supplements.
  • Recognition of halal certification from foreign countries, facilitating business actors in distributing and exporting halal products.
  • Sanctions for business actors who do not comply with halal certification, ranging from administrative warnings to fines and revocation of distribution permits.

3. Government Regulation No. 39 of 2021 concerning the Implementation of the Halal Product Assurance Sector

This regulation further clarifies the halal certification process with several additional provisions:

  • The deadline for halal certification for traditional medicines and health supplements is set until October 17, 2026.
  • Mandatory halal labels on product packaging that has been certified.
  • Provisions related to Halal Inspection Bodies (LPH), including the establishment of more LPH to accelerate the certification process.

4. Government Regulation No. 42 of 2024 concerning Amendments to Government Regulation No. 39 of 2021

This latest regulation brings significant changes in the halal product assurance system, including for the health supplement industry. Several key points in this regulation are:

  • Simplification of halal certification processes, especially for micro and small businesses through self-declaration mechanisms for low-risk products.
  • Acceleration of halal certification services through digital integration, enabling online submission and monitoring of halal certification.
  • Increased role of LPH and BPJPH in accelerating product inspection and certification.
  • Stricter administrative sanctions for business actors who do not fulfill halal obligations after the specified deadline.

Impact of Halal Regulations on the Health Supplement Industry

For the health supplement industry, the development of halal regulations has several impacts that need attention:

  • Mandatory fulfillment of halal certification before the 2026 deadline, requiring companies to immediately ensure raw materials and production processes meet halal standards.
  • Difficulty in obtaining halal raw materials, especially for products with enzyme components, gelatin, or animal extracts.
  • Increased production costs due to the obligation to replace non-halal ingredients with halal alternatives and certification costs that must be borne.
  • Wider market opportunities, both domestically and for export, because halal products have higher value and are in demand by global Muslim consumers.

Conclusion

The development of halal regulations in Indonesia shows the government’s commitment in ensuring the halal assurance of products consumed by society. For health supplement industry players, understanding and complying with these regulations is very important in order to stay compliant with applicable rules, but also become more competitive and trusted by consumers.

As an association that accommodates business actors in the health supplement industry, the Indonesian Health Supplement Entrepreneurs Association (APSKI) plays a role in:

  • Helping to inform/socialize to members about the latest regulations
  • Establishing communication with the government and BPJPH to ensure that the applied regulations support industry growth.

 

Stay updated on the latest information related to regulations and the health supplement industry only on the APSKI website.

Prepared by:

apt. Dra. Ayu Puspitalena RTR, MP

Head of Technical Division